Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Menunda Pembagian Waris
Antara Larangan & Tantangan
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Menunda Pembagian Waris
Antara Larangan & Tantangan
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT)
Menunda Pembagian Waris Antara Larangan dan Tantangan
Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA
35 hlm
Judul Buku
Menunda Pembagian Waris Antara Larangan dan Tantangan
Penulis
Ahmad Sarwat, Lc. MA
Editor
Fatih
Setting & Lay out
Fayyad & Fawwaz
Desain Cover
Faqih
Penerbit
Rumah Fiqih Publishing
Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan
Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Daftar Isi
Bab 1 : Kewajiban Menyegerakan 12
A. Kewajiban Menunaikan Amanah 12
3. Amanah Adalah Ciri Orang Beriman 14
4. Tidak Amanah Adalah Ciri Munafiq 14
B. Kewajiban Segera Melunasi Hutang 14
1. Menunda Bayar Hutang Itu Zalim 15
2. Menunda Bayar Hutang Itu Fasik Dosa Besar 16
3. Manusia Terbaik Segera Bayar Hutang 16
C. Haramnya Makan Harta Anak Yatim 17
3. Boleh Menggunakan Asal Tetap Amanah 18
D. Haramnya Merampas Hak Orang Lain 21
E. Kewajiban Menjaga Barang Tercecer 23
F. Berpotensi Kerancuan Kepemilikan 24
Bab 2 : Status Harta Yang Belum Dibagi Waris 26
C. Haram DiHibahkan dan Diwasiatkan 27
Bab 3 : Tantangan Dalam Menyegerakan 28
3. Harta Bersama Suami Istri 30
C. Masalah Terkait Ahli Waris 30
Bab 4 : Beberapa Antisipasi 32
A. Mendidik Calon Ahli Waris 32
Mukaddimah
Harta waris adalah harta yang awalnya adalah harta yang sah dan legal yang dimiliki oleh seseorang musim, namun kemudian dia meninggal dunia. Lalu karena pemilknya meninggal dunia, maka menjadi tidak bertuan.
Keadaan harta tak betuan tanpa ada pemiliknya ini dalam syariat Islam tidak dibenarkan dan harus dilakukan tindakan agar segera harta itu ada tuannya. Bila harta itu dibiarkan tidak ada pemiliknya, maka secara alami akan menjadi sumber rebutan dan keributan di tengah masyarakat.
Harta ini akan jadi rebutan banyak orang, berpotensi memecah-belah mereka, lalu pada gilirannya akan menimbulakn tindakan anarkis bahkan perang yang akan menimbulkan korban nyawa manusia.
Oleh karena itu Allah SWT telah menetapkan mekanisme yang baku dan resmi ditetapkan langsung dari atas langit. Mekanisme ini berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi dengan taat, karena langsung diberi ancaman keras bagi yang menentangnya.
Ancamannya di dalam Al-Quran tidak main-main, yaitu sebagai muslim diancam masuk neraka dan tidak bisa keluar lagi selamanya. Padahal ketentuan umumnya hanya orang kafir saja yang masuk neraka secara abadi di dalamnya.
Sedangkan bila dia berstatus sebagai muslim, meski bisa tetap masuk neraka karena banyak dosa dan pahalanya tekor, namun sifatnya hanya temporal saja. Bila semua dosa sudah terbayarkan dengan siksa neraka, ada gilirannya akan dikeluarkan lagi.
Namun khusus pemeluk agama Islam yang menolak dan menentang mekanisme yang telah Allah SWT atur ini, ancamannya mirip dengan siksa neraka para orang kafir, yaitu abadi di dalam api neraka.
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa : 14)
Yang jadi problem dewasa ini ternyata banyak sekali umat Islam yang tidak paham mekanisme ini. Harta milik orang yang wafat umumnya tidak segera dibagi-bagi sesuai mekanisme resmi yang turun dari atas langit, namun cenderung untuk dibiarkan saja tanpa kejelasan status kepemilikan.
Kondisi tidak segera dibagikannya harta peninggalan almarhum ini jelas merupakan bentuk kemungkaran yang nyata, namun banyak tidak dipahami oleh kebanyakan pemeluk Islam. Bukannya membaginya sesuai mekanisme yang sudah ditetapkan, justru dimana-mana terjadi pengabaian.
Salah satunya adalah dalam bentuk menunda-nunda pelaksanaan pembagian waris. Menunda-nunda ini nyaris mendekati pengingkaran terhadap perintah Allah SWT.
Seperti sudah waktunya untuk mengerjakan shalat lima waktu, namun bukanya segera dilaksanakan malah ditunda-tunda terus, sampai akhirnya waktunya pun terlewat. Tentu saja jadi berdosa dan melahirkan murka dari Allah SWT.
Buku ini akan membahas tentang perintah untuk segera menjalankan mekanisme pembagian waris, lalu juga membahas hal-hal apa saja yang biasanya menjadi hambatan ketika pembagian waris akan dilaksanakan.
Bab 1 : Kewajiban Menyegerakan
Kewajiban untuk menyegerakan pembagian harta waris didukung oleh banyak perintah lain seperti kewajiban menunaikan amanah hak orang lain, juga kewajiban segera melunasi hutang, bahkan juga ancaman dari memakan harta anak yatim.
A. Kewajiban Menunaikan Amanah
Dalam kacatamata hukum syariah, harta milik orang yang wafat itu ibarat harta milik seseorang yang tercecer. Sama-sama harta yang ada pemiliknya, namun pemiliknya tidak tahu hartana ada dimana.
Maka menjadi kewajiban kita yang menemukan harta tercecer itu untuk mengembalikannya kepada pemiliknya. Bukannya malah membiarkan harta yang tercecer itu musnah atau jadi rebutan banyak orang.
Harta peninggalan almarhum itu menjadi harta yang sifatnya merupakan amanah yang harus ditunaikan. Maka harta yang tidak bertuan itu harus diserahkan kepada para ahli waris.
Statusnya adalah merupakan amanah yang wajib bagi kita dan siapapun untuk bertanggung-jawab agar amanah itu bisa sampai kepada pemiliknya. Sebaliknya, mendiamkan harta amanah milik orang lain tercecer merupakan tindakan yang salah dan keliru, karena tidak amanah menjaga harta sesama muslimin.
1. Perintah Berlaku Amanah
Di dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang secara tegas mewajibkan kita untuk berlaku amanah, antara lain ayat berikut ini :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS. An-Nisa : 58)
Di dalam sabda Nabi SAW juga banyak kita temukan perintah untuk menunaikan amanah, misalnya hadits berikut ini :
أَدِّ الْأَمَانَةِ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Tunaikanlah amanah orang yang mempercayakan padamu dan jangan khianati orang yang mengkhianatimu. (HR. Ahmad)
2. Larangan Berkhianat
Kebalikan dari sikap amanah adalah khianat. Dan di dalam Al-Quran kita temukan adanya larangan berlaku khianat atas amanat yang dipercayakan kepada kita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfal : 27)
3. Amanah Adalah Ciri Orang Beriman
Al-Quran menegaskan bahwa orang beriman itu cirinya adalah bersikap menjaga amanah alias menyampaikan titipan milik orang yang berhak dan haram mengangkanginya dalam bentuk apapun.
Harta almarhum itulah titipan yang harus diserahkan kepada ahli waris.
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al-Mukminun : 8)
4. Tidak Amanah Adalah Ciri Munafiq
Dan menunda-nunda bagi waris itu sama saja berkhianat. Soalnya bukan haknya kok malah dikuasai seenaknya. Khianat itu ciri orang munafik.
Ciri orang munafik itu tiga. Salah satunya kalau dipercaya dia khianat. Dipercaya untuk membagi warisan, eh malah ditunda-tunda nunggu ini dan itu. Bagaimana cara menghindari dari sifat munafik ini?
Bagi waris lah secepatnya. Kok malah ditunda-tunda. Lha wong bukan haknya kok malah dikangkangi sendirian?
B. Kewajiban Segera Melunasi Hutang
Apabila seseorang meninggal dunia dan memiliki harta kekayaan, namun harta kekayaan itu masih berada di tangan orang lain yang bukan ahli warisnya, maka status harta itu merupakan hutang selama ada izin dari pemilik sah.
1. Menunda Bayar Hutang Itu Zalim
Namun yang namanya hutang harus segera dikembalikan. Kalau tidak dikembalikan dan sengaja ditunda-tunda pembayaran hutang itu, maka ada ancaman dari Nabi SAW :
مَطْلُ الغَنِيِّ ظلُمْ
Menunda-nunda bayar hutang itu kezhaliman. (HR. Bukhari)
Menurut para ulama ahli hadits, makna riwayat di atas mengarah pada ketentuan haramnya menunda pelunasan hhutang tatkala seseorang sudah cukup secara finansial dan mampu untuk membayar.
Berbeda ketika seseorang dalam keadaan tidak memiliki uang yang cukup, maka ia tidak tergolong dalam cakupan hadits di atas. Dalam hal ini, Syekh Badruddin al-‘Aini menjelaskan:
لأن المعنى أنه يحرم على الغني القادر أن يمطل بالدين بعد استحقاقه بخلاف العاجز
Makna hadits di atas bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial melakukan penundaan membayar utang setelah tetapnya utang tersebut, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar).[1]
2. Menunda Bayar Hutang Itu Fasik Dosa Besar
Dalam padangan mazhab Maliki bahwa orang yang menunda bayar hutang, sudah termasuk kategori orang yang fasik dan dosa besar. Meski pun hanya dilakukan hanya sekali saja.
Sedangkan dalam pandangan mazhab Syafi’i, label fasik itu berlaku ketika perbuatan haram itu dilakukan berulang-ulang. Hal ini seperti dijelaskan dalam fatwa Al-Imam An-Nawawi :
وقد اختلف أصحاب مالك وغيرهم في أن المماطل هل يفسق وترد شهادته بمطلة مرة واحدة أم لا ترد شهادته حتى يتكرر ذلك منه ويصير عادة ومقتضى مذهبنا اشتراط التكرار
“Ulama mazhab Maliki berbeda pendapat mengenai orang yang menunda membayar utang apakah ia dihukumi fasik dan tertolak kesaksiannya (di majelis hakim) dengan melakukan satu kali penundaan membayar utang, atau kesaksiannya tidak tertolak kecuali ia sampai mengulangi perbuatan tersebut secara berulang-ulang dan menjadi kebiasaannya? Berdasarkan analisis dalam mazhab kita (mazhab Syafi’i) disyaratkan berulang-ulangnya penundaan membayar utang (dalam melabeli fasik pada orang yang menunda membayar utang).[2]
3. Manusia Terbaik Segera Bayar Hutang
Di sisi lain Nabi SAW bersabda terkait ciri manusia terbaik yaitu mereka yang segera membayar hutangnya.
فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً
Sesungguhnya sebagian dari orang yang paling baik adalah orang yang paling baik dalam membayar (utang). (HR. Bukhari).
C. Haramnya Makan Harta Anak Yatim
Harta milik seseorang yang wafat bila tidak segera dilaksanakan pembagian warisnya, maka bisa saja menjadi kasus memakan harta anak yatim. Khususnya apabila di antara ahli waris itu memang ada anak almarhum yang masih kecil di bawah umur.
Tentang haramnya memakan harta anak yatim ini amat tegas disebutkan di dalam Al-Quran.
1. Dosa Besar
وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An-Nisa : 2)
2. Makan Api Neraka
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An-Nisa : 10)
3. Boleh Menggunakan Asal Tetap Amanah
Mungkin ada orang yang bertanya, bukan kah anak yatim itu belum boleh memegang harta sendiri, lalu mengapa harus segera diberikan harta waris dari orang tuanya?
Jawabannya memang anak yatim belum boleh menggunakan sendiri harta miliknya. Namun hal itu bukan berarti anak yatim jadi kehilangan hak kepemilikan.
Kalau urusan hak kepemilikan, tidak ada satu pun pihak yang bisa menghalangi anak yatim dari menjadi pemilik harta warisan dari orang tuanya. Maka pembagian harta waris untuk anak yatim hukumnya tetap harus dilaksanakan, tinggal diatur saja siapa yang menjadi wali baginya dan diberi amanah untuk menjaga harta milik anak itu.
Statusnya harta itu sudah 100% milik anak yatim, lalu nanti ada pihak yang ditunjuk sebagai penjaganya. Tugasnya adalah menjaga harta anak yatim itu agar tidak habis terbuang sia-sia.
Maka dalam Islam ada mekanisme orang yang menjadi kafil anak anak yatim dan hartanya. Kafil itu boleh saja apabila punya kemampuan untuk memutar harta milik anak yatim itu, asalkan berlaku amanah, tidak serakah dan juga jujur. Allah SWT berfirman :
وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (QS. An-Nisa : 6)
Salah satu alasan kenapa dibolehkan memutar harta milik anak yatim justru karena menjaga agar harta anak itu tidak habis dimakan oleh zakat. Sebab anak yatim tentu saja belum mampu memutar uangnya sendiri, sehingga akan tertimbun begitu saja sampai ujung-ujungnya akan berkurang karena terkena kewajiban zakat.
Oleh karenanya Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
من ولي يتيما له مال فليتجر له ولا يتركه حتى تأكله الصدقة
Orang yang jadi wali anak yatim yang mempunyai harta, maka putarlah untuk berdagang dan jangan di biarkan begitu saja sehingga tidak dimakan oleh sedekah”. (HR. Al-Baihaqi)
Al Baihaqi meriwayatkan dari Al-Hakam bin Abi Al ‘Ash berkata: “Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- berkata kepadaku:
هَلْ قِبَلَكُمْ مُتَّجَرٌ ؟ فَإِنْ عِنْدِى مَالُ يَتِيمٍ قَدْ كَادَتِ الزَّكَاةُ أَنْ تَأْتِىَ عَلَيْهِ ؟ قَالَ قُلْتُ لَهُ : نَعَمْ قَالَ : فَدَفَعَ إِلَىَّ عَشْرَةَ آلاَفٍ فَغِبْتُ عَنْهُ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ لِى : مَا فَعَلَ الْمَالُ قَالَ قُلْتُ : هُوَ ذَا قَدْ بَلَغَ مِائَةَ أَلْفٍ
Adakah diantara kalian yang berprofesi sebagi pedagang? Karena saya mempunyai harta anak yatim yang hampir dihabiskan oleh zakat. Aku jawab,“Saya”. Umar kemudian menyerahkan 10.000 kepada saya. Saya pun gunakan untuk usaha sekian lama dalam jangka waktu tertentu. Akhirnya saya kembali kepadanya dan Umar bertanya,“Bagaimana keadaan harta miik anak yaitm itu?. Saya jawab,“Nilanya sekarang sudah mencapai 100.000.
Al Baihaqi juga telah meriwayatkan dari Qosim bin Muhammad berkata:
كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تُزَكِّى أَمْوَالَنَا وَإِنَّهَا لَيُتْجَرُ بِهَا فِى الْبَحْرَيْنِ
“Aisyah –radhiyallahu ‘anha- telah mengeluarkan zakat harta kami dan beliau (menggunakannya) untuk berdagang di Bahrain”.
D. Haramnya Merampas Hak Orang Lain
Namun ketika seseorang mengaku meminjam harta orang lain, padahal orang lain tidak memberi izin, maka status harta itu menjadi harta rampasan alias ghashab. Di dalam kamus Lisanul Arab disebutkan bahwa makna ghashb adalah :
أَخْذُ الشَّيْءِ ظُلْمًا وَقَهْرًا
Mengambil sesuatu dengan cara zalim dan memaksa.
Tentu saja merampas harta orang lain itu diharamkan di dalam Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’.
1. Al-Quran
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang beriman, janganlah sebagaian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang kalian saling merelakan. (Qs. An-Nisa : 29)
2. Hadits
Pada saat melakukan Haji Wada, Rasulullah berkhutbah yang mengharamkan harta milik orang lain.
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَ
Sesunguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram bagimu seperti haramnya hari ini, di bulan ini dan di Negara ini. (HR. Bukhari dan Muslim)
لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا وَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا
Janganlah seseorang di antara kalian mengambil harta saudaranya, baik dengan sungguh-sungguh ataupun dengan sendagurau. Apabila seseorang di antara kalian mengambil tongkat saudranya, maka hendaklah ia mengembalikannya kepadanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi)
لاَ يَحِل مَال امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسِ
Tidaklah halal harta seorang muslim bagi muslim lainnya, kecuali dengan kerelaan darinya.(HR. Ahmad)
Siapa yang mengambil harta saudaranya dengan cara paksa, niscaya Allah pasti memasukkannya ke dalam nereka dan mengharamkan baginya surga. Seseorang lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, sekalipun suatu yang remeh?” Rasulullah SAW menjawab “Walau sepotong kayu siwak sekalipun.”
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنَ الأْرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
Siapa yang melakukan kezaliman dengan sejengkal tanah, niscaya Allah akan membebankan kepadanya kelak di akhirat tujuh lapis bumi. (HR. Bukhari Muslim)
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang senada dan mengharamkan perbuatan ghashb.
3. Ijma’
Seluruh umat Islam telah sampai ke titik ijma’ bahwa tindakan ghashb ini termasuk perbuatan yang diharamkan Allah SWT, walaupun harta yang dighashb tidak mencapai nishab pencurian.
E. Kewajiban Menjaga Barang Tercecer
Harta milik seseorang yang wafat dan belum dibagi waris bisa diibaratkan seperti harta temuan atau luqathah (لقطة). Luqathah dalam ilmu fiqih didefiniskan sebagai harta milik seseorang yang tercecer di jalan dan pemiliknya tanpa sadar sudah pergi meninggalkan itu tanpa sadar.
الْمَال الضَّائِعُ مِنْ رَبِّهِ يَلْتَقِطُهُ غَيْرُهُ
Harta yang hilang dari tuannya dan ditemukan oleh orang lain.
Tentu merupakan kewajiban bagi kita yang menemukannya untuk mengembalikan kepada pemiliknya sesegera mungkin. Dan jadi haram atau berdosa kalau tidak segera dikembalikan. Sebab pemiliknya pasti sedang kesusahan begitu sadar hartanya tercecer. Semakin lama kita menahan harta itu akan semakin berdosa.
Dalam kasus luqathah, bisa saja pemiliknya tidak kita kenal, sehingga ada perintah untuk mengumumkannya di pintu-pintu masjid selama setahun.
اعْرِفْ وِكاءَها وعِفاصَها ثُمَّ عَرِّفْها سَنَةً
Kenali bungkus dan talinya lalu umumkan selama setahun. (HR. Bukhari)
Sedangkan dalam kasus harta waris, tentu saja tidak perlu repot-repot mengumumkan di pintu masjid. Sebab pemiliknya sudah jelas yaitu para ahli waris. Jadi harta itu segera saja dikembalikan kepada pemiliknya. Kenapa harus ditunda-tunda?
F. Berpotensi Kerancuan Kepemilikan
Yang lebih parah adalah apabila harta yang belum dibagi waris itu kemudian ditambahi atau dimodali dengan harta milik yang menguasainya. Dan itu pasti akan menambah ruwet urusan pembagian waris nantinya.
Misalnya rumah milik almarhum yang tidak segera dibagi waris, lalu ditempati oleh salah satu dari ahli waris, sebutlah misalnya ditempati oleh anak pertama.
Karena merasa bakalannya akan jadi miliknya di kemudian hari, maka anak pertama ini juga menambahi rumah itu dengan bangunan-bangunan baru. Atau setidaknya ada biaya perawatan yang nilainya tentu tidak sedikit.
Bahkan boleh jadi karena rumah itu sudah tua dan harus segera dilakukan renovasi total, boleh jadi rumah itu kemudian dirobohkan secara total lalu dibangun seratus persen dengan bangunan baru.
Maka ketika rumah ini nantinya mau dibagi waris, pasti akan timbul masalah besar karena harta-harta itu saling tercampur satu dengan yang lain tanpa bisa dipisahkan. Pastinya akan memperumit masalah yang sudah rumit sebelumnya.
Bab 2 : Status Harta Yang Belum Dibagi Waris
A. Haram Digunakan
Ketika seorang wafat, otomatis almarhum kehilangan hak atas harta miliknya. Islam memandang bahwa orang mati tidak punya hak atas harta apapun. Berarti saat itu juga semua harta miliknya jadi tidak bertuan. Lalu siapakah yang berhak jadi pemiliknya?
Seharusnya anak, istri dan para ahli warisnya segera menyelesaikan pembagiannya. Kalau tidak, maka harta itu jadi tidak bertuan. Dan status harta yang tidak bertuan itu status quo, sehingga tidak boleh diapa-apakan.
B. Haram Diperjual-belikan
Siapa pun di antara keluarga tak satu pun yang berhak untuk menggunakan harta itu. Dasarnya karena para ahli waris belum lagi secara resmi menjadi pemilik harta itu.
Dan orang yang bukan pemilik, tentu saja haram hukumnya memperjual-belikannya. Dalam hadits Nabi SAW disebutkan :
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu. (HR. Abu Daud, Nasai, Tirmizy, Ibnu Majah)
C. Haram DiHibahkan dan Diwasiatkan
Bab 3 : Tantangan Dalam Menyegerakan
Sesungguhnya dalam hukum syariah, apabila seseorang meninggal dunia, maka secara otomatis harta miliknya langsung berpindah kepemilikan langsung menjadi milik ahli warisnya. Namun itu secara teorinya.
Sedangkan secara praktek di alam nyata, nampaknya tidak sesederhana itu. Ada beberapa tantangan yang harus diantisipasi agar proses pembagian waris itu bisa segera terlaksana dan tidak tertunda-tunda.
A. Masalah Status Harta
Seringkali ditemukan kasus ketika seseorang dipanggil menghadap Sang Khaliq, dia belum lagi menginventarisir harta miliknya yang berceceran. Boleh jadi memang belum sempat memikirkan hal itu atau memang dia sendiri semenjak masih hidup juga kesulitan menginventarisirnya.
Tentu saja hal itu akan menimbulkan kendala bagi para ahli waris untuk bisa segera membaginya sebagai harta warisan. Kalau pemilik aslinya saja pun masih kebingungan dengan pendataan hartanya, apalagi yang bukan pemilik yaitu para ahli warisnya, pastinya akan lebih kesulitan lagi.
Hal ini harus dilakukan karena boleh jadi harta milik almarhum belum definitif, para ahli warisnya sendiri seringkali kita belum bisa menetapkan batasan, mana harta milik almarhum dan mana yang bukan milik almarhum.
Memang biasanya status harta seseorang itu tidak selalu dalam keadaan ideal terdata dengan rapi. Maksudnya, boleh jadi almarhum sendiri semaca hidupnya belum pernah melakukan inventarisasi harta miliknya sendiri.
Umumnya kita memang begitu, ketika ditanya atau harus mengisi data, berapa harta yang kita miliki, belum tentu kita bisa menjawab langsung. Karena boleh jadi kita sendiri pun belum sempat melakukan inventarisasi atas harta milik kita.
Terbayang kalau yang punya harta itu selagi hidup masih bingung harus mennginventarisir hartanya sendiri, apalagi dengan keluarga dan ahli warisnya. Boleh jadi mereka malah menemukan jalan buntu, sehingga ragu atas status harta tertentu.
Ada beberapa kemungkinan dalam masalah inventarisasi harta milik almarhum.
1. Lupa
Misalnya, almarhum sendiri terlupa apakah suatu aset itu sebenarnya masih miliknya atau sudah milik orang lain. Mungkin aset itu dulu pernah dimilikinya, lalu dipinjam orang dan tidak dikembalikan, tapi sudah lupa keadaan terakhirnya.
Atau bisa saja almarhum pernah memiliki barang itu, lalu dijual ke orang lain. Namun almarhum lupa kalau pernah menjualnya. Dan tidak ada catatan atau pun dokumen jual-beli.
Atau dalam kasus lain mungkin saja almarhum memiliki suatu harta namun sifatnya syirkah atau share kepemilikan. Jadi mereka memiliki harta itu secara bersama-sama.
2. Sengketa
3. Harta Bersama Suami Istri
Biasanya yang paling sering punya harta bersama adalah suami istri. Biasanya suami-istri mencicil beli rumah, tanah, sawah atau apartemen secara bareng-bareng. Kadang sampai tidak jelas batasan saham kepemilikian masing-masing.
Dan biasanya juga yang punya harta bersama itu adik kakak lantaran mereka mendapat harta warisan berupa aset yang sulit untuk dipisahkan, seperti rumah, tanah, sawah dan lainnya.
Maka status harta yang statusnya masih jadi milik bersama itu harus dipisahkan dulu dan tidak bisa langsung dieksekusi.
Yang jadi masalah, seringkali para pemilik tidak sepakat atas jatah dan saham kepemilikan harta mereka masing-masing. Sehingga seringkali menemui jalan buntu yang berimbas tertunda-tundanya pembagian harta waris.
4. Usaha Bersama
B. Masalah Fisik Harta
C. Masalah Terkait Ahli Waris
Terkadang masalah harta mudah ditetapkan, tapi yang muncul masalah justru di pihak para ahli waris. Biasanya kasusnya adalah ketidak-pahaman mereka atas teknis ketentuan pembagian waris dalam syariat Islam. Hal itu wajar karena pelajaran bagi waris memang tidak pernah diajarkan secara khusus, sehingga banyak di kalangan keluarga muslim sendiri yang merasa asing, aneh dan malahan antipati dengan hukum waris secara Islam.
Yang paling klasik adalah penolakan atas pembagian waris anak laki dan anak perempuan yang seharusnya dua banding satu. Sangat mudah menemukan kalangan yang menolak ketentuan dari Al-Quran ini. Ada seribu satu macam alasan yang biasanya dikemukakan, mulai dari yang paling logis sampai yang sama sekali tidak logis.
Pendeknya, keawaman dan ketidak-mengertian para ahli waris atas ketentuan hukum waris Islam sangat besar mempengaruhi lancar tidaknya pembagian harta waris.
Kesimpulannya bahwa masih dibutuhkan proses transisi dari harta itu awalnya milik almarhum menjadi milik para ahli waris.
Bab 4 : Beberapa Antisipasi
A. Mendidik Calon Ahli Waris
B. Menyiapkan Wasiat
Oleh karena itulah Allah SWT telah mensyariatkan adanya wasiat, khususnya bagi orang yang sudah merasa ajanya sudah menjelang.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 180)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ ۚ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۙ وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآثِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”. (QS. Al-Maidah : 106)
RUMAH FIQIH adalah sebuah institusi non-profit yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan pelayanan konsultasi hukum-hukum agama Islam. Didirikan dan bernaung di bawah Yayasan Daarul-Uluum Al-Islamiyah yang berkedudukan di Jakarta, Indonesia.
RUMAH FIQIH adalah ladang amal shalih untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Rumah Fiqih Indonesia bisa diakses di rumahfiqih.com